Friday 21 July 2023

Alasan Penghapusan Kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Piagam Jakarta menjadi UUD 1945

 Tentang Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

Dalam buku kelas X dan kelas XI, sudah dijelaskan secara mendetail tentang rancangan preambule yang disusun oleh Panitia Sembilan dan bagaimana preambule ini menimbulkan polemik di kalangan pendiri bangsa. Komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI, membuat para pendiri bangsa berkompromi dan bersepakat untuk menghapus tujuh kata dalam Preambule/Piagam Jakarta tersebut. Sebelum berkompromi, kita perlu mencermati pokok-pokok pikiran dari dua kubu yang berseberangan. 

Berikut adalah poin-poin penting dari buku kelas X dan kelas XI. 

a. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku Ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini merupakan persetujuan antara kalangan Islam dan kalangan kebangsaan. 

b. Dalam preambule, terdapat tujuh kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Preambule tersebut menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral. 

c. Jika diklasifikasikan secara sederhana, pemikiran pendiri bangsa terbagi dalam dua kelompok besar: Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Muslim.

d. Kelompok Nasionalis Sekuler memandang bahwa negara Indonesia tidak bisa didasarkan kepada agama, secara spesifik kepada Islam, meskipun pemeluk agama Islam di Indonesia jumlahnya terbanyak di antara agama-agama lain. Argumentasinya adalah agama dan negara memiliki domain yang berbeda. Agama berkaitan dengan urusan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebenaran absolut, dan bersifat suci. Sementara itu, negara menyangkut persoalan dunia dan kemasyarakatan. Karena itulah, bagi kelompok ini, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan internal agama masing-masing, apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya. 

e. Kelompok Nasionalis Muslim berpandangan bahwa Islam bukan saja mencakup moral, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan politik. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lebih dari itu, dalam pandangan M. Natsir, Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia sehingga Islam perlu menjadi dasar negara. Menurut Natsir, Islam memiliki nilai-nilai sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antargolongan dengan penuh toleransi. Bahkan, jika pun Islam tidak menjadi dasar negara, bagi Natsir, tidaklah masalah, dengan catatan hukum Islam dapat diterapkan. “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam,” tulis Natsir dalam Pandji Islam (15 Juli 1940). 

f. Akhirnya, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Alasannya, sejumlah pihak “keberatan” dengan adanya tujuh kata tersebut sehingga berpotensi terjadi perpecahan. Diskusi dan lobi-lobi dilakukan kepada sejumlah tokoh yang selama ini mengusulkan Indonesia berasaskan Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.  

No comments:

Post a Comment

mohon mengunakan bahasa yang sopan